Jika kamu penggemar sepakbola sejak era 90an mungkin tidak akan merasa heran jika bertemu dengan seseorang yang mengaku fans Parma. Bagaimana jika tidak? Mungkin kamu akan mentertawainya.
Ya, Parma adalah klub Italy dari kota Parma yang sekarang diambang likuidasi. Didirikan pada 1913, Parma menjadi salah satu klub tertua di Serie A. Meski demikian, Parma baru dikenal luas pada era 90an berkat prestasi mentereng di Italia & Eropa.
Saya sebetulnya tak pernah berpikir untuk menyukai klub yang bermarkas di Colechio dan memiliki stadion bernama Ennio Tardini ini. Semua dimulai saat saya dan teman sebaya mengadakan kompetisi sepakbola kertas diawal 2000an.
Saya yang saat itu masih buta soal klub sepakbola (bahkan sepakbola kertas sendiri tidak tahu) bingung harus membuat tim apa berikut pemain-pemainnya. Salah seorang teman kemudian meminjamkan tim miliknya. Dan bisa ditebak, tim tersebut adalah Parma.
Awalnya saya sempat tidak suka "hey, tim apa ini? namanya saja aneh" ujar saya merasa dikerjai. Saya lalu mendapat penjelasan soal betapa hebatnya Parma dari teman saya itu.
Awalnya saya sempat tidak suka "hey, tim apa ini? namanya saja aneh" ujar saya merasa dikerjai. Saya lalu mendapat penjelasan soal betapa hebatnya Parma dari teman saya itu.
"Buffon adalah kiper timnas Italia, yang terhebat di dunia" ujarnya. "Thuram adalah bek Perancis yang cetak gol di final Piala Dunia" yang lain menimpali, dan terus berlanjut dengan timpalan-timpalan berikutnya yang membuat saya penasaran pada tim dengan warna kostum kuning biru ini.
Saya yang tadinya hanya penggemar sepakbola biasa sejak Piala Dunia 98, jadi semakin keranjingan dengan sepakbola, khususnya Serie A dan Parma.
Adalah pantangan untuk melewatkan program highlights Lega Calcio dan Total Football di televisi waktu itu. Bahkan pertandingan yang biasa digelar pukul 2 dini hari akan saya tonton.
Saya selalu mengusahakan untuk membeli tabloid sepakbola tiap minggu. Saat bermain bola, pemain Parma jadi role model bagi saya. Bahkan saat bermain playstation di rental, saya setia memakai Parma walau harus melawan Madrid sekalipun.
Namun sayang, mungkin saya menjadi fans Parma disaat yang salah. Pada 2003 Parma krisis. Satu per satu pemain favorit pergi meninggalkan klub. Saya pun baru menyadari bahwa sepakbola ternyata juga bisa membuat kita bersedih.
Buffon yang notabenya pemain terfavorit saya bahkan pindah ke Juventus, tim yang paling saya benci. Saya masih ingat ketika Buffon tandang pertama ke Ennio Tardini, ia berpelukan dengan Cannavaro. Moment yang tak terlupakan. Tabloid SOCCER bahkan menjadikan gambarnya sebagai bonus poster. Saya serasa ingin menangis melihat pemandangan itu.
Cannavaro kapten kesayangan pun hijrah setelahnya ke Inter. Sejak itu, status Parma bukan lagi raksasa, hanya sebatas kuda hitam saja. Walau demikian, saya tetap kekeuh mendukung Parma hingga akhirnya mereka terdegradasi.
Dengan degradasinya Parma, tidak ada lagi tontonan sepakbola yang menarik buat saya. Di zaman itu, akses pada informasi tak semudah sekarang. Saya seperti seseorang yang kehilangan kekasih dan tak tau rimbanya.
Kehidupan sepakbola saya hampa. Selayaknya manusia, saya butuh cinta, saya butuh tempat untuk menumpahkan fanatisme saya pada sepakbola. Hingga akhirnya pada final Champions League 2006 saya melihat laga Arsenal melawan Barcelona.
Seperti roman klasik. Saya jatuh cinta lagi. Lucunya bukan pada Barca yang saat itu juara, tapi justru pada Arsenal. Alasannya? Sederhana. Karena saya lebih menyukai & mengenal Thierry Henry cs ketimbang sang lawan.
Mungkin juga karena pada dasarnya saya memang lebih seperti seorang berjiwa hipster. Hingga saat ini & seterusnya, saya telah memantapkan hati saya sebagai seorang Gooners (fans Arsenal).
Lantas, bagaimana dengan Parma? Parma akan selalu ada dihati saya, karena Parma lah yang mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang fans klub yang loyal, menjadi penggemar bola yang berawawasan. Jika bukan karena Parma, saya mungkin tidak akan pernah mengenal Arsenal lewat tabloid-tabloid yang dulu saya beli.
Bagi saya, Arsenal ibarat kekasih yang dicintai lewat perkenalan, cinta, pengetahuan dan kedewasaan, bukan hanya bermodalkan fanatisme, hasrat, kebetulan, penasaran dan keintiman semata.
Sementara, Parma tak ubahnya mantan terindah yang mengajari bagaimana cara dan rasanya mencintai serta bagaimana cara menjalani hidup dengannya menjadikan itu sebagai sebuah kebanggaan.
Saya berharap agar Parma bertahan, bangkit dan kembali mengulang sukses.
Forza, Parma.
![]() |
Masa Kejayaan Parma |
Parma.... iya ya mmg ada klub itu.. kemana dia sekarang?
ReplyDeleteParma sekarang di serie D1, bisa dibilang liga semi pro Italia...
Delete